Pesantren bukanlah camp konsentrasi, di mana setiap “organisme” yang ada di dalamnya selalu berada di bawah predestinasi doktrin. Melainkan sebuah laboratorium, di mana segala hal di dalamnya selalu menarik untuk dijelaskan. Pesantren juga sebuah museum yang menyimpan kearifan dan keluhuran masa lampau untuk diaktualisasikan kehadapan angkuhnya modernitas zaman.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang masih sanggup bertahan di tengah pergulatan perubahan zaman, lahir di bumi Indonesia sebagai salah satu wujud kuatnya daya akulturasi leluhur bangsa Indonesia, dimulai sejak Islam masuk ke negeri ini dengan merekayasa sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya sudah ada di nusantara jauh sebelum kedatangan Islam. Dikembangkan dari sistem pendidikan agama Jawa (abad 8-9 M) yang merupakan perpaduan antara kepercayaan animisme, hinduisme dan budhisme, yang kemudian di bawah pengaruh Islam sistem pendidikan tersebut diambil alih dengan mengganti nilai ajarannya menjadi nilai ajaran Islam (Mastuhu, 1994:3).
Model pendidikan Jawa itu disebut pawiyatan, berbentuk komplek asrama, dengan rumah guru yang disebut Ki Ajar yang berada di tengah-tengahnya. Adapun istilah pondok berasal dari bahasa Arab funduq yang berarti penginapan. Sedangkan pesantren berasal dari kata santri yang merupakan bentuk genrik dari bahasa Jawa cantrik, berarti orang yang selalu mengikuti Ki Ajar dalam sebuah padepokan.Menurut beberapa peneliti seperti C.C Berg, istilah tersebut berasal dari kata shastri, yang berasal dari bahasa Sansekerta berarti orang yang paham buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Pondok pesantren juga tidak bisa dipisahkan dari tiga pilar utamanya yaitu kyai, santri, dan kitab kuning (buku-buku keagamaan yang ditulis dalam bahasa Arab).
Pendidikan agama Islam di nusantara dimulai sekitar abad 16 -dengan munculnya pesantren kembang kuning Sunan Ampel di tahun 1596 M- inilah yang kemudian dikenal dengan nama Pondok Pesantren. Bahkan dalam catatan Howard M. Federspiel, menjelang abad ke-12 sebenarnya sudah muncul pusat-pusat studi agama Islam khususnya di wilayah nusantara bagian barat seperti Aceh ( di Aceh pesantren disebut Dayah), Palembang, dan Gresik (Wikipedia, 2006). Meski demikian, berdasarkan data sejarah yang sudah bisa dikategorikan sebagai pesantren hanya yang terdapat di daerah Surabaya, Jawa Timur.
Pusat-pusat studi Islam tersebut pada zamannya juga telah mengahsilkan karya tulis penting yang umumnya berupa kitab-kitab yang berhubungan dengan dunia tasawuf (metafisika Islam) yang pada gilirannya, keberadaan kitab-kitab tersebut mempengaruhi arah manhaj dakwah Islam di nusantara melalui proses penetration pacifique -meminjam istilahnya Azumardi Azzra- tanpa pedang dan paling kurang mengalami arabisasi dibandingkan penyebaran Islam di wilayah lain.
Sejak awal, pendidikan pesantren bukan dimaksudkan untuk menyiapkan tenaga kerja terampil pada sektor-sektor modern sebagaimana orientasi lembaga pendidikan lain. Melainkan penanaman kepada santri supaya dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan ajran Islam secara benar.Pendidikan pesantren ibarat sebuah instrument yang berupaya mengantarkan para santri ‘hanya’ menjadi alim dan shalih, bukan menjadi pegawai atau pejabat. Oleh karena itu, beberapa pesantren yang masih murni (salaf) tidak mengutamakan ijasah atau sertifikat, melainkan pada penguasaan dan pengamalan ilmu sebagai bekal tuntunan hidup.
Kyai memperbolehkan santri keluar dari pesantren sekiranya sudah dianggap cukup. Selagi dirasa belum cukup, santri diperkenankan pula untuk belajar menambah pengetahuan baru dari satu pesantren ke pesantren lain. Bahkan, memperkanankan santri untuk menimba ilmu selama belasan tahun atau pun puluhan tahun.
Orientasi pendidikan semacam itu menjadikan pesantren tidak pernah disibukkan urusan rekrutmen peserta didik seperti yang sering diributkan oleh lembaga pendidikan lain di masa penerimaan siswa baru. Apalagi praktik pemalsuan ijasah, selain memang pesantren menanamkan nilai-nilai luhur seperti keikhlasan, ridha, tawadhu’, karamah, barakah, atau semacamnya. Di sinilah letak perbedaan pendidikan pesantren dengan pendidikan modern (sekolah umum).
Pesantren memiliki kontribusi besar terhadap kemajuan Islam maupun bangsa Indonesia, terlebih dalam mengentaskan buta huruf di kalangan rakyat kecil pada zaman penjajahan. Jika dahulu pesantren hanya dikenal sebagai tempat penggemblengan kader-kader Islam dan pusat penyiaran agama Islam, dalam perkembangannya pesantren memperluas wilayah jangkauan. Pesantren tidak sebatas mengakselerasikan mobilitas vertical (kesalehan privat) yang hnay berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (regional-based curriculum), tetapi juga pemahaman terhadap moilitas horizontal (kesalehan sosial) dengan mengembangkan kurikulum terkait persoalan kekinian masyarakat (society-based curriculum). Memang dahulu hanya sebatas tempat me-ngaji ilmu agama melalui sistem sorogan, wetonan, dan bandongan. Namun, saat ini pesantren juga banyak yang membuka pendidikan sistem klasik dan program-program modern seperti madrasah, sekolah, hingga universitas.
Kehadiran lembaga pendidikan formal ke dalam pesantren dimaksudkan untuk memperkokoh tradisi yang sudah ada. Adaptasi adalah bentuk keniscayaan tanpa menghilangakan ciri khas yang dimiliki pesantren. Sejak tahun 1970-an ilmu pengetahuan umum mulai diajarkan sehingga lingkungan pesantren sekalian menjamak kurikulum pendidikan yang telah disinergikan dengan kebutuhan zaman, semisal mata pelajaran teknologi informasi dan kegiatan ekstra berupa seminar, pelatihan ketrampilan dan kewirausahaan.
Compability materi forum ilmiah pesatren (bahsul masail) dewasa ini juga tidak hanya berkutat pada persoalan fiqh praktis tapi telah merambah dimensi sosial, politik, dan ekonomi. Dengan demikian, pesatren tidak bisa lagi divonis semata-mata sebagai lembaga ortodoks anmun lebih jauh juga sebagai lembaga pendidikan dan sosial yang hidup responsif terhadap problematika masyarakat.
Pesantren dan Mainstream Pendidika Modern
Dewasa ini salah satu problematika yang dihadapi pesantren adalah industrialisasi pendidikan yang hanya berorientasi pada eksistensi, materi dan karir. Sebagaiman marketing yang hanya mengenal hukum konvensional ekonomi, yakni dengan mengeluarkan mdal sekecil mungkin mampu mendapatkan laba maksimum. Konsekuensinya, bila dunia pendidikan di-industri-kan, maka dikhawatirkan akan mempraktekkan hukum yang serupa sehingga akan menjadi berbunyi, kurang lebih seperti : “mengeluarkan energi se-minimum mungkin tapi dapat menikmati fasilitas profesi guru secara maksimum”. Pengajar sekedar menggugurkan kewajiban mengajar semata, asalkan dapat menikmati gaji bulanan dan tunjangan rutin dari negara. Salah satu imbasnya, tenaga pendidik lebih mengutamakan kegiatan sertifikasi dari pada kewajiban mengajar.
Industrialisasi tentu mengarah pada pragmatisme pendidikan. Ironisnya, pragmatisme ini telah menjadi mainstream pendidikan nasional mulai tingkat dasar (SD) hingga perguruan tinggi (PT). Kewajiban murid menuntut ilmu pada akhirnya hanya berkutat pada soal ijasah. Asalkan bisa diterima bekerja di lingkungan yang nyaman dengan gaji yang tiinggi. Seakan proses belajar di sekolah hanya wahana menabung yang bisa diambil setelah lulus.
Wacana lain, tingginya biaya pendidikan jelas menghalangi masyarakat yang ingin bersekolah. Apalagi dengan maraknya program pendidikan dengan label sekolah berbasis internasional maupun program pendidikan plat merah lainnya, pemerintah secara langsung telah menciptakan kelas sosial di lingkungan pendidikan. Mengapa ? Karena program tersebut hanya sanggup dibeli oleh kalangan keluarga kaya yang bisa menikmati fasilitas belajar di kelas internasional full AC serta fasilitas lain yang lengkap dengan berbagai keistimewaannya bila dibandikngkan degan kelas reguler.
Praktis, kapitalisasi pendidikan seperti itu menyebabkan masyarakat kelangan menengah ke bawah tersisihkan dan hanya mampu menikmati pendidikan seadanya bahkan sebagian sama sekali tidak dapat mengenyam. Hal ini jelas menciderai rasa keadilan pendidikan nasional yang tertuang dalam UUD 1945, bahwa setiap putra Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan nasional, justru menghalangi mereka yang ingin bersekolah dengan tingginya biaya pendidikan tersebut.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan swasta yang mengakar di negeri ini, menjadi solusi bagi mereka yang tidak mampu bersekolah di lembaga milik pemerintah. Relatif rendahnya beban biaya pendidikan pesantren mampu memberi harapan di tengah ketimpangan dunia pendidikan ini. Bahkan, ada yang gratis selama belajar bertahun-tahun dengan cara membantu kesibukan ustadz atau kyai. Meski demikian, mereka tetap mendapatkan fasilitas dan diperlakukan sama. Tidak seperti lembaga pendidikan pada umumnya yang memperlakukan peserta didik kaya secara istimewa sementara si miskin dinomor-duakan. Kastanisasi pendidikan semacam itu tidak pernah ada di dunia pesantren. Santri kaya dan santri miskin beradsa dalam kelas yang sama, tidur di gotakan dan beralaskan kloso yang sama pula, walaupun anak kyai atau pejabat.
Wajah lain yang nampak di dunia pesantren adalah ketulusan dan keikhlasan para pengajarnya. Predikat pahlawan tanpa tanda jasa tak sebanding bila dilihat dari ketulusan, tanggung jawab, dan intensifitasnya dalam mengarahkan anak didik. Hubungan emosional senantiasa terjaga antara santri dan kyai. Bukan hanya letika masih di pesantren, pasca dari pesantren sang kyai masih me-monitoring dan mengarahkan santrinya. Hal itulah yang saat ini hilang di dunia pendidikan non pesantren. Siswa yang sudah lulus dianggap sudah bukan tanggung jawab pihak sekolah dan diserahkan sepenuhnya kepada orang tua.
Namun, setelah bergulirnya zaman, pesantren sebagai basis pendidikan masyarakat akar rumput itu semakin terpinggirkan. Eksistensi pendidikan pesantren terancam oleh sistem pendidikan kapitalis. Minat masyarakat justru beralih kepada sistem pendidikan yang melanggengkan kelas sosial tersebut. Padahal, dibalik wajah manisnya, pendidikan kapitalis menyembunyikan wajah sadis yang jauh dari prinsip dasar pendidikan apalagi nilai-nilai luhur pesantren, yakni ikhlas lillahi ta’ala, istiqomah, dan tawadhu’. Jelas, nilai-nilai tersebut hanya fatamorgana di hadapan pendidikan kapitalis yang sarat dengan mainstream dan pragmatisme.
Bagaimana pun, pesantren tidak boleh kepincut pendidikan kapitalis yang hanya menjual fasilitas-fasilitas dan keistimewaan bagi si kaya, sekalipun hal tersebut dianggap sebagai salah satu cara untuk mengimbangi globalisasi karena semua itu tidak sebanding dengan harga mahal yang akan dibayar pesantren apabila menerapkan model pendidikan kapitalis. Jika pesantren sampai terkontaminasi oleh kapitalisme maka ia harus menggadaikan nilai-nilai luhurnya dan pada gilirannya juga berpeluang menciptakan kelas sosial antara santri kaya dan santri miskin.
Penulis : Da’i Robbi, Jurusan Tarbiyah Prodi PBA IAIN Tulungagung.
0 Komentar